“Bersyukurlah”
by : Neri Faradina
Pagi yang cerah. Burung-burung mulai berkicau dan berterbangan mencari makan. Tak mau kalah, sang mentari pun memancarkan sinarnya. Sinar-sinar itu menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar Ana. Namun, gadis manis 19 tahun ini masih tetap terlelap dalam tidurnya.
“Tok..tok…tok, An…Bangun dong, sudah pagi”, kata Bunda seraya mengetuk pintu kamar Ana.
“Hmm..udah bangun kok Bund”, jawab Ana seraya merangkak dari kasurnya yang nyaman. Ia membuka pintu kamar dan menemui Bundanya.
“Bunda mau berangkat kerja, sarapan sudah siap di meja. Oh ya jangan lupa anterin pudding di kulkas buat tetangga baru kita. Bunda pergi dulu, Assalamualaikum”.
“Walaikumsalam…hati-hati Bund”, kata Ana seraya mencium tangan Bundanya.
Hari ini hari libur, wajar jika Ana bermalas-malasan. Namun, ia tetap harus melaksanakan pesan bundanya untuk mengantarkan pudding ke tetangga barunya. Ia mulai merapikan diri, sarapan, dan mengantarkan pudding.
Saat tiba di rumah tetangganya, sang pemilik rumah kebetulan sedang berada di halaman. Seorang wanita seusia Bundanya tampak sibuk merapikan rumah, maklum mereka baru pindah tadi malam.
“Assalamualaikum, perkenalkan saya Ana. Saya yang tinggal di depan rumah ini.”, kata Ana memperkenalkan diri.
“Oh walaikumsalam Ana, mari masuk, maaf masih berantakan. Tante belum selesai menata semuanya”, sambut sang pemilik rumah.
“Ah nggak masalah Tante, Saya cuma mampir sebentar kok, ini tadi ada sedikit pudding dari Bunda”, kata Ana sambil menyerahkan pudding yang dibawanya.
“Wah…terima kasih. Oh iya perkenalkan, nama tante Rina. Suami tante Rudi, beliau tadi masih keluar membeli beberapa peralatan bersama kedua anak tante. Namanya Rian dan Dion. Dion masih kelas 1 SMA, sedangkan Rian sudah bekerja. Kamu sendiri umur berapa?”, tanya Tante Rina.
“Saya 19 tahun tante”, jawab Ana.
“Oh.. masih sangat muda ya. Oh iya tante buatin minum dulu ya..”
“Eh…nggak usah tante, saya langsung pulang aja. Saya juga masih ada janji sama temen mau pergi.”, tolak Ana sehalus mungkin. Padahal ia tak berencana pergi kemanapun hari itu.
“Oh begitu…ya sudah, bilang sama Bunda terima kasih puddingnya. Jangan sungkan-sungkan main kesini An..”, kata Tante Rina.
“Iya tante nanti saya sampaikan ke bunda. Kalau begitu Ana pamit dulu, Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam”.
Hari Senin. Hari yang sangat berbeda dari hari sebelumnya, dimana Ana mulai sibuk mempersiapkan segala perlengkapannya untuk praktik di sebuah kantor swasta. Ana adalah mahasiswi baru, ia baru menginjak semester 2 di jurusan Manajemen. Di semester ini, ia sudah mulai praktik langsug di lapangan untuk menambah pengalamannya.
Hari pertama berjalan lancar, mulai upacara penyambutan dan pembagian kerja dilalui Ana dengan baik. Ada 5 mahasiswa yang praktik hari itu. Masing-masing mendapat bagian kerja yang berbeda. Dari kelima mahasiswa itu tak ada satupun yang dikenali oleh Ana, wajar karena mereka semua berasal dari kampus yang berbeda. Setiap orang mendapat satu Supervisor yang akan membimbing mereka di lapangan. Saat itu Ana sangat beruntung mendapatkan supervisor muda yang super keren. Namanya Mas Rian. Ia tak mau dipanggil Pak, katanya terdengar terlalu tua.
“Subhanallah..begitu indah ciptaanMu ya Allah. Dan terima kasih telah mengijinkanku bertemu dengan orang sekeren Mas Rian”, Ana tersenyum seraya bergumama dalam hatinya.
Beberapa hari berlalu ia semakin akrab dengan supervisornya, terlebih lagi supervisor muda itu adalah tetangganya. Ia begitu terkejut saat mengetahui bahwa supervisornya adalah anak Tante Rina. Ana merasa bagaikan mendapat durian runtuh.
“Wow… supervisor sekeren Mas Rian ternyata tetanggaku? OH MY GOD!”, saat itu Ana tampak sangat girang, hingga tak menyadari jika ia salah masuk ruang.
Ana tak sengaja masuk ruang rapat para manajer. Semua mata tertuju padanya. Sadar akan hal itu ia langsung meminta maaf pada semua yang ada.
“Maaf saya salah ruangan, permisi semuanya!”, dengan perasaan malu ia pun langsung kabur menuju ke ruang kerjanya.
“Duh…kok bisa sih salah masuk ruang! Oke mulai sekarang aku harus fokus!”, Ana pun meyakinkan dirinya untuk tetap fokus pada praktiknya.
Dua minggu berlalu, Ana akhirnya menyelesaikan praktik sekaligus laporannya. Ia sangat berharap mendapat nilai A. Ia yakin karena ia sudah bekerja keras untuk menyelesaikan praktik dan laporannya dengan sebaik mungkin. Bahkan beberapa hari terakhir ia kurang tidur akibat lembur mengerjakan laporan.
Seminggu berikutnya nilai sudah muncul. Ana mendapat nilai A sesuai harapannya. Bunda membuat kue brownis kesukaan Ana.
“Alhamdulillah, selamat ya sayang akhirnya usahamu nggak sia-sia”, puji Bunda pada Ana.
“Iya Bund… seneng banget dapet nilai sesuai harapan”, kata Ana riang.
Sore ini Ana berencana ke kantor Mas Rian untuk mengucapkan rasa terima kasihnya, sekalian memberikan sedikit brownis buatan Bundanya. Akhir-akhir ini Ana sangat dekat dengan Mas Rian, ia mulai suka dengan supervisor muda itu. Ia sangat bersemangat untuk menemuinya, apalagi Ana tahu jika supervisor muda itu masih single.
Ana bergegas membungkus brownis dan pergi menuju kantor Mas Rian. Ia tak sabar untuk segera menemuinya. Dengan motor maticnya ia segara berangkat. Hari itu jalanan cukup lengang tak ada kemacetan, ia pun memacu gasnya lebih kencang.
Namun tiba-tiba…
“Tiiiiinnnnn……Brakkrkkrk!
“Tok..tok…tok..Assalamualaikum…”
“Walaikumsalam..Eh Rian, Ada apa ya?”, Tanya Bunda Ana.
“Bisa saya bertemu dengan Ana tante? Sudah 5 hari Ana tak pernah menghubungi saya. Saya telfon juga nggak diangkat. Ana baik-baik saja kan tante?”, Tanya Rian penasaran.
“Begini… sebenarnya Ana sakit. Ia mengalami kecelakaan saat menuju kantormu 5 hari yang lalu. Kakinya terluka sangat parah. Ia tak bisa menggerakkan kakinya keesokan harinya. Kata dokter ia lumpuh. Mendengar hal itu ia sangat shock..ia tak mau keluar kamar. Bahkan ia tak mau kuliah. Ia juga tak mau bertemu siapapun.”, Bunda Ana pun menjelaskan apa yang terjadi pada putrinya.
“Coba saya bicara dengan Ana tante, saya akan coba membujuknya”, pinta Rian.
“Baiklah semoga saja ia mau mendengarkanmu…Karena sebelum kecelakaan itu dia banyak cerita tentang kamu”, Bunda Ana mempersilakan Rian untuk bicara pada putrinya.
Rian melihat Ana sedanga melamun di dekat jendela kamarnya. Pandangannya kosong, tersirat kesedihan yang sangat dalam. Benar-benar berbeda dengan Ana yang sebelumnya.Rian mencoba berbicara pada Ana. Tak ada respon sedikit pun dari Ana. Namun Rian tak menyerah, ia mulai bercerita banyak hal pada Ana. Mulai dari kesan pertamanya saat bertemu Ana, dan penilaiannya terhadap Ana secara pribadi. Usaha itu sia-sia. Ceritanya tak ditanggapi sedikit pun oleh Ana.
Ia mulai menyerah, akhirnya ia berkata pada Ana.
“Kau harusnya bersyukur An, kau masih hidup”, kata Rian.
Tiba-tiba Ana merespon ucapan Rian, “Aku memang masih hidup Mas, tapi aku nggak berguna. Kaki yang seharusnya bisa membawaku kemana-mana sekarang malah nggak berfungsi. Aku sekarang hanya bisa nyusahin Bunda. Hidupku sekarang hanya sebagai beban. Mas beruntung, masih muda, punya jabatan bagus, dan nggak nyusahin orang tua. Sedangkan aku?”, air matanya pun tak terbedung lagi. Ana menangis sejadi-jadinya.
“Kamu harus bersyukur An, kamu nggak tahu hidayah apa yang akan kamu dapatkan setelah melalui cobaan ini. Dan kamu jangan iri pada orang lain, apalagi aku. Karena kamu juga nggak tahu cobaan apa yang telah Allah berikan kepadaku sebelum aku seperti sekarang”.
Mendengar perkataan Rian, Ana pun mulai sadar. Cobaan yang dihadapinya ini tak sepantasnya ia sesali, ia harus bersyukur atas anugerah yang ia dapatkan selama ini. Ia tak boleh mengurung diri selamanya, ia harus bisa bertahan apapun yang terjadi.
“Mas, temenin aku beli ice cream yuk!”, tiba-tiba saja sikap Ana berubah.
“Hah? Sekarang? Tunggu…tadi nangis kayak gitu sekarang kok senyum-senyum, malah mau beli ice cream segala?”, Rian heran dengan sikap gadis dihadapannya itu.
“Hehe….ayolah nggak usah banyak tanya!”,kata Ana dengan senyum manisnya. ^_^
Related Articles
No user responded in this post
Leave A Reply